Pages

Rabu, 29 November 2017

TUGAS LEMBAGA NEGARA V3 SEMESTER 3 FK. ILMU HUKUM UNTAG SEMARANG



TUGAS
LEMBAGA NEGARA
DOSEN PENGAMPU ACHMAD FAUZI, SH, MSI










DISUSUN OLEH      :
NAMA            : RIKA MELANI
  NPM               : 161003742014181
         KELAS           : V3/SEMESTER 3      
                                               


UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
V3/SEMESTER III
2016/2017

HUKUM LEMBAGA NEGARA
1.      BADAN PEMERIKSAAN KEUANGAN
a)      DASAR HUKUM  PEMBENTUKAN  BPK RI
PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 , BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Pasal 23E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Pasal 23F
(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
(2) Pimpinan Badan Perneriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G
(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006
Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara
b)      SEJARAH  BERDIRINYA BPK RI :
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen, BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5). Kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
c)      PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN KEANGGOTAAN BPK RI :
Struktur Organisasi BPK
Description: http://www.bpk.go.id/assets/files/images/2017/11/post_1509693932_WhatsApp_I.jpeg
STRUKTUR ORGANISASI BPK:
  1. Sekretariat Jenderal
  2. Inspektorat Utama
  3. Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi dan Pengembangan
  4. Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara
  5. Auditorat Utama Keuangan Negara I
  6. Auditorat Utama Keuangan Negara II
  7. Auditorat Utama Keuangan Negara III
  8. Auditorat Utama Keuangan Negara IV
  9. Auditorat Utama Keuangan Negara V
  10. Auditorat Utama Keuangan Negara VI
  11. Auditorat Utama Keuangan Negara VII
  12. Auditorat Utama Investigasi
TENTANG BPK RI
d)     TUGAS DAN KEWENANGAN BPK RI
TUGAS DAN WEWENANG KETUA, WAKIL KETUA, DAN ANGGOTA BPK RI
No.
Pimpinan BPK
Tugas dan Wewenang
Objek Tugas dan Wewenang
1.
Ketua (merangkap Anggota)
Melaksanakan:
  • pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara umum bersama dengan Wakil Ketua;
  • tugas dan wewenang yang berkaitan dengan kelembagaan BPK;
  • hubungan kelembagaan dalam negeri dan luar negeri;
  • pembinaan pemeriksaan investigatif bersama dengan Wakil Ketua; dan
  • pembinaan tugas Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara bersama dengan Wakil Ketua.
Pelaksana BPK dan para pemangku kepentingan
2.
Wakil Ketua (merangkap Anggota)
Melaksanakan:
  • pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara umum bersama dengan Ketua;
  • pembinaan tugas Sekretariat Jenderal, Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara, dan Inspektorat Utama;
  • proses Majelis Tuntutan Perbendaharaan;
  • pembinaan pemeriksaan investigatif bersama dengan Ketua; dan
  • pembinaan tugas Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara bersama dengan Ketua.
Pelaksana BPK dan para pemangku kepentingan
3.
Anggota I
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; dan
  • memberikan pengarahan pemeriksaan investigatif.
  • Kemenko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;
  • Kementerian Luar Negeri;
  • Kementerian Hukum dan HAM;
  • Kementerian Pertahanan;
  • Kementerian Perhubungan;
  • Kejaksaan RI;
  • Kepolisian Negara RI;
  • Badan Intelijen Negara;
  • Badan Narkotika Nasional;
  • Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika;
  • Lembaga Ketahanan Nasional;
  • Lembaga Sandi Negara;
  • Komnas HAM;
  • Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  • KPU (termasuk KPU Daerah Prov/Kab/Kota);
  • Badan SAR Nasional;
  • Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; dan
  • Badan Pengawas Pemilihan Umum,
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
4.
Anggota II
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; dan
  • memberikan pengarahan pemeriksaan investigatif
  • Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
  • Kementerian Keuangan;
  • Kementerian Perdagangan;
  • Kementerian Perindustrian;
  • Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS
  • Kementerian Koperasi dan UKM;
  • Badan Koordinasi Penanaman Modal;
  • Badan Pusat Statistik;
  • Bank Indonesia;
  • Otoritas Jasa Keuangan;
  • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan;
  • PT Perusahaan Pengelola Aset (termasuk pengelolaan aset-aset eks BPPN oleh Kemenkeu);
  • Lembaga Penjamin Simpanan;
  • Badan Standardisasi Nasional;
  • Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; dan
  • Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
5.
Anggota III
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; dan
  • melaksanakan koordinasi pemeriksaan investigatif
  • MPR, DPR, DPD, MA, BPK, MK, KY;
  • Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan;
  • Kementerian Sekretariat Negara;
  • Sekretariat Kabinet
  • Kementerian Sosial;
  • Kementerian Pariwisata;
  • Kementerian Ketenagakerjaan;
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika;
  • Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
  • Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
  • Kementerian Pemuda dan Olahraga;
  • Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
  • Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
  • Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi;
  • Badan Pengawas Tenaga Nuklir;
  • Badan Tenaga Nuklir Nasional;
  • Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi;
  • Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
  • Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional;
  • Perpustakaan Nasional RI;
  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
  • Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil;
  • Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;
  • Badan Kepegawaian Negara;
  • Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
  • Lembaga Administrasi Negara;
  • Arsip Nasional RI;
  • Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno Jakarta;
  • Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran;
  • Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja;
  • Lembaga Penyiaran Publik RRI;
  • Lembaga Penyiaran Publik TVRI;
  • Taman Mini Indonesia Indah;
  • Badan Informasi Geopasial;
  • Ombudsman RI;
  • Badan Pertanahan Nasional;
  • Badan Ekonomi Kreatif;
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
6.
Anggota IV
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; dan
  • memberikan pengarahan pemeriksaan investigatif
  • Kemenko Bidang Kemaritiman;
  • Kementerian Pertanian;
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan;
  • Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
  • Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
  • Badan Pengatur Hilir Migas;
  • Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo;
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
7.
Anggota V
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah; dan
  • memberikan pengarahan pemeriksaan investigatif
  • Kementerian Dalam Negeri;
  • Kementerian Agama;
  • Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang;
  • Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam;
  • Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura;
  • Badan Nasional Pengelola Perbatasan;
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Badan Usaha Milik Daerah di Wilayah I, yang terdiri atas:
  • Provinsi Aceh;
  • Provinsi Sumatera Utara;
  • Provinsi Sumatera Barat;
  • Provinsi Riau;
  • Provinsi Kepulauan Riau;
  • Provinsi Jambi;
  • Provinsi Sumatera Selatan;
  • Provinsi Bengkulu;
  • Provinsi Kepulauan Bangka Belitung;
  • Provinsi Lampung;
  • Provinsi Banten;
  • Provinsi Jawa Barat;
  • Provinsi DKI Jakarta;
  • Provinsi Jawa Tengah;
  • Provinsi DI Yogyakarta;
  • Provinsi Jawa Timur;
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
8.
Anggota VI
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah; dan
  • memberikan pengarahan pemeriksaan investigatif
  • Kementerian Kesehatan;
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
  • Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan);
  • Badan Pengawas Obat dan Makanan;
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Badan Usaha Milik Daerah di Wilayah II, yang terdiri atas:
  • Provinsi Bali;
  • Provinsi Nusa Tenggara Barat;
  • Provinsi Nusa Tenggara Timur;
  • Provinsi Kalimantan Barat;
  • Provinsi Kalimantan Tengah;
  • Provinsi Kalimantan Selatan;
  • Provinsi Kalimantan Timur;
  • Provinsi Kalimantan Utara;
  • Provinsi Sulawesi Barat;
  • Provinsi Sulawesi Selatan;
  • Provinsi Sulawesi Tengah;
  • Provinsi Sulawesi Tenggara;
  • Provinsi Gorontalo;
  • Provinsi Sulawesi Utara;
  • Provinsi Maluku;
  • Provinsi Maluku Utara;
  • Provinsi Papua;
  • Provinsi Papua Barat;
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.
9.
Anggota VII
  • melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
  • pemeriksaan investigatif
  • Kementerian Badan Usaha Milik Negara;
  • Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas);
  • Badan Usaha Milik Negara dan anak perusahaan;
  • Badan Pembina Proyek Asahan dan Otorita Pengembangan Proyek Asahan;
  • Lembaga yang dibentuk dan terkait di lingkungan entitas tersebut di atas.






e)      TATA CARA PENGISIAN JABATAN , MASA JABATAN , DAN JUMLAH ANGGOTA BPK RI :
TENTANG TATA CARA PENGISIAN
CONTOH PAKTA INTEGRITAS PELAMAR
Saya yang bertanda tangan di bawah ini ;
Nama :
NIP :
Pangkat/golongan ruang :
Tempat,tgl lahir :
Jabatan saat ini :
Alamat :
a. Kantor :
b. Rumah :
Dalam rangka mengikuti Seleksi Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (SKPD yang dilamar)*) di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sampang, dengan ini menyatakan bahwa saya:
1. Tidak akan melakukan komunikasi yang mengarah kepada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
2. Tidak akan melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Akan melaporkan kepada pihak yang berwajib/berwenang apabila mengetahui ada indikasi
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
4. Tidak memberi sesuatu yang berkaitan dengan Seleksi Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (SKPD yang dilamar)*) di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sampang yang dapat dikategorikan sebagai suap dan/atau gratifikasi.
Apabila saya melanggar hal-hal yang telah saya nyatakan dalam Pakta Integritas ini, saya bersedia dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.Sampang, tgl / bulan / tahun
Yang Menyatakan
   (tanda tangan)
  ( nama lengkap )
*) SKPD yang dilamar diisi misalnya : Dinas Pendidikan.
Masa jabatan 6 Tahun dan Sesuai dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, jumlah Anggota BPK adalah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota, seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan 7 (tujuh) orang Anggota. Dengan diresmikannya kelima orang Anggota BPK pada hari ini maka keanggotaan BPK saat ini sejumlah 9 (sembilan) orang. Pelaksanaan tugas dan wewenang kesembilan orang Anggota BPK tersebut akan ditentukan kemudian sesuai Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota BPK.
f)       HUBUNGAN BPK RI DENGAN LEMBAGA LAIN :
Hubungan DPD dengan DPR, BPK, dan MK
Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan mengedepankan kepentingan daerah.
Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.
Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
Dalam kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait dengan kewenangan MK dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya.
2.      MAHKAMAH KONSTITUSI RI
a.       DASAR HUKUM PEMBENTUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Terdapat di Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum keberadaan berbagai .... Pembentukan Mahkamah Konstitusi
b.      SEJARAH BERDIRINYA MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.[1] Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia Harper)[2] memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus[3] dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.[4] Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini diputus oleh John Marshall.
Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.
Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 (1881-1973) juga pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria.[5]
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional). Negara-negara bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya.[6]
Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan.[7]
Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengalami perubahan mendasar sejak Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai Perubahan Keempat pada tahun 2002. Undang-undang Dasar 1945 setelah Perubahan Keempat tahun 2002, saat ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali, dengan resmi disebut “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan, menyisakan hanya 25 butir yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir ketentuan dapat dikatakan merupakan materi atau ketentuan yang baru.[8]
Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan.[9] Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan UUD 1945 sejak Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai lembaga Negara.
Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi mekanisme struktural organ-organ Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu; pokok pikiran tersebut antaranya adalah :
a)      Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b)      Pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances'
c)      Pemurnian sistem pemerintah presidential; dan
d)     Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[10]
Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.[11]
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[12] Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
c.        KEDUDUKAN DAN SUSUNAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang  tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor 04 Tahun 2012 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretris Jenderal Mahkamah Konstitusi Sebagai Berikut:
Description: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/organisasi/stuktur/so1.gif
d.      TUGAS DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI RI
  • Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewewenangan lembaga Negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
  • Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
  • Menguji undang-undang terhadap UUD 19451.
  • Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
  • Memutus pembubaran partai politik.
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
e.       KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1.Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh      UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.Memutuspembubaran partai politik, dan
3. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
4. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment)





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar