BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan
hak-haknya merupakan salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum
dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya
kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien
yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran
yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa
yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya
selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah
menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek
yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam
terkait alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada proses
pelayanan kesehatan. Terkait kasus-kasus yang muncul mengenai malpraktek, kasus
yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus malpraktek Mauren di Rumah Sakit
Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin maraknya kemunculan kasus-kasus
malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan semakin meningkatnya
kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus malpraktek ini harus dikaji
sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu kelalayan dan
propesionalitas tenaga kedokteran.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat
dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis yang kurang
memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya pencegahannya.
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan pengertian malpraktek
2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran
3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4. Menjelaskan tentang tanggung jawab secara hukum
5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan
mengetahui cara menghadapi
tuntutan hukum.
1.4 Manfaat
Penulisan
1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang
kesehatan terutama yang berkaitan
dengan
malpraktek tenaga
medis.
2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan
malpraktek tenaga
medis serta upaya-
upaya untuk
mencegahnya.
3. Memahami tuntutan hukum terhadap
malpraktek tenaga
medis.
BAB
II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan
istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau
tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan
istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam
rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi
kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan
(perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan
dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya
norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi
termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab
itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur
atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut
yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga
bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan
praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum
ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan
dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica
malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice
(Lord Chief Justice, 1893).
2.2 Malpraktek Dibidang
Hukum
Untuk malpraktek hukum
atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam
kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun
negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens
rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau
kealpaan (negligence).
· Criminal malpractice yang bersifat sengaja
(intensional):
a. Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib
Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat
(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam
dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam
ratu rupiah. Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b. Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP,
tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c. Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang
berbunyi: Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Ayat (2) Jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama lima tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja
merusak kesehatan. Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana.
·
Criminal malpractice
yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien informed consent.
a. Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l)
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut,
dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang
dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal
itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
· Criminal malpractice yang bersifat negligence
(lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP,
pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena
kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lamasatu tahun.
b. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan
luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
c. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam
melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir,
masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya
hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih
berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam
bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka
pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada
criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu
tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana
kesehatan.
2. Civil
malpractice
Seorang bidan akan
disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara
lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual
atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of
vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama
bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui
bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas
kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2.3 Pembuktian Malpraktek
Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dari definisi malpraktek
adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan
bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut
malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian bidan
dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan
tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi
teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya
upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil
(resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa
telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi
siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan
tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal
malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah
memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan
perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan
tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh
atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka
yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang
dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang
praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya
dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
· Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya
kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian
bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi
medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar
profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari
kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian) Bidan untuk dapat
dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium
dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
· Cara tidak langsung Cara tidak langsung
merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa
loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan
tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung
jawab bidan
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan
perkataan lain tidak ada contributory negligence. Misalnya ada kasus saat bidan
akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali pusat ikut terluka perut
pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang
secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
a. Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak
ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong tali pusat bayi adalah
merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil
akan kejadian tersebut.
2.4 Tanggung Jawab
Hukum
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak
setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik
berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin
dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut
merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk
selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut
merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa
macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya
kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan
kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan
keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah
sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat
yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam
tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat
atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort Liability in tort adalah tanggung
gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan
hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga
yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut
dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain
(Hogeraad 31 Januari 1919).
2.5 Upaya Pencegahan dan
Menghadapi
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan
kesehatan. Dengan
adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek
diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,
yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan
keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu
dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam
rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan
kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien,
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi
tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak
memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah
bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian
bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan
dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti
untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau
tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti
bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of
treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin
(men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan
pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni
dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban
atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban,
dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
c. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya
bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan
diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil
malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar
gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang
dialami penggugat.
d. Untuk membuktikan adanya
civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang
dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang
kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Ilustrasi Kasus
Pihak RS Awal Bros Beberkan Kasus Maureen Chairul
04 Mar 2011 (Tangerang, Kompas.com)
Dugaan kasus malpraktik
yang terjadi di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang, Banten terhadap bayi Maureen
Angela berusia delapan bulan yang kini kehilangan jari kelingkingnya, masih
perlu pembuktian. Tim Kementerian Kesehatan juga telah diturunkan untuk
mengawasi penyelesaian kasus tersebut. Dalam jumpa pers yang digelar di lantai
5 RS Awal Bros Tangerang, Kamis {3/3) sekitar pukul 13.00 WIB, Dr Elizabeth
yang menangani Maureen menjelaskan, Maureen datang ke Instalasi Gawat Darurat
(IGD) pada 16 November 2010 dengan alasan ndak sadar, kejang, nafas
tersengal-sengal, denyut jantung sangat cepat, demam tinggi, kekurangan cairan
berat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Menurutnya, tim
dokter yang bertugas di IGD saat itu mengambil langkah-langkah medis untuk
mengatasi ke gawat daruratan tersebut "Maureen diberi cairan bicnat yang
disuntikkan jarum infus. Karena kandungan pH darahnya asam, maka diberi cairan
bicnat sebelum dilakukan tindakan, kami telah meminta persetujuan keluarga dan
telah disetujui, papar Elizabeth. Jarum infus yang terpasang di tangan Maureen
dibalut dengan perban agar jarum tidak lepas. "Langkah yang sama juga
dilakukan bagi pasien anak. Pemantauan dilakukan dengan baik terbukti aliran
infus berjalan dengan baik," ungkapnya. Setelah itu, kondisi Maureen
berangsur-angsur membaik dan nyawanya terselamatkan. "Dengan membaiknya
kesehatan Maureen, maka kemungkinan tangan Maureen bergerak-gerak sehingga
mengakibatkan cairan infus merembes ke tangan," paparnya.
Rembesan itu
mengakibatkan kerusakan pada ujung jari kelingking kanan. Kerusakan jaringan
tersebut merupakan suatu hal yang sangat tidak diharapkan terjadi. "Semua
yang kami lakukan itu adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun
sampai dari resiko memang dapat terjadi dalam suatu proses pengobatan terhadap
siapa saja," kilahnya. Namun, sangat disayangkan Elizabeth dan pihak RS
Awal Bros tidak memberi kesempatan kepada wartawan untuk bertanya lebih jauh.
"Kami selaku manajemen rumah sakit akan senantiasa menyediakan waktu untuk
berkomunikasi dengan keluarga pasien," katanya mengakhiri keterangan
persnya. Secara terpisah, Direktur Bina Upaya Rujukan Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan dr Chairul Rajab Nasution mengatakan,
kasus dugaan malpraktik di RS Awal Bros itu perlu pembuktian secara obyektif.
"Kita harus membuktikan secara obyektif, apakah ini kasus sebab akibat penyakit
sebelumnya atau karena ada kelalaian yang dilakukan oleh tim medis," kata
Chairul kepada wartawan di Kantor Kementerian Kesehatan, Kamis (3/3) sekitar
pukul 15.00 WIB. Dia mengatakan, Kemenkes telah melakukan koordinasi terhadap
kasus dugaan malpraktik yang menimpa anak Maureen Angela. "Jika ada yang
salah, Kementerian Kesehatan pasti akan melakukan tindakan tegas sesuai dengan
kesalahan yang terbukti," kata Chairul. Untuk pembuktian itu, harus
melalui beberapa proses melalui Komite Medik Rumah Sakit untuk membuktikan
secara diagnostik medik. Sedangkan Kementerian Kesehatan sebagai regulator akan
melihat secara administratifnya.
RS, dokter Rumah Sakit Awal Bros, Kota
Tangerang, belum menerima surat panggilan dari Kepolisian Resor Metro Tangerang
Kota terkait pelaporan sang dokter oleh orang tua Maureen (8 bulan). Dokter
yang merawat Maureen itu dilaporkan Linda Kurniawati (33) dan Budi Kuncahya
(39) ke Polda Metro Jaya, tapi dilimpahkan ke Polrestro Tangerang
Kota. "Belum
ada panggilan dari polisi untuk dokter RS. Kami menunggu proses hukum berjalan,"
kata juru bicara Rumah Sakit Awal Bros, dokter Elizabeth, saat dihubungi
wartawan, Rabu (9/3/2011). Dokter RS dilaporkan atas dugaan perawatan dari sang dokter yang
menyebabkan dua ruas jari kelingking Maureen putus. Pihak RS Awal Bros
berupaya menjalin komunikasi dengan keluarga Maureen. Usaha tersebut sebagai
iktikad baik RS yang dahulu bernama RS Global Medika untuk tidak mengabaikan
penderitaan yang dialami Maureen. "Keluarga pasien terakhir kali kontak
dengan kami pada tanggal 28 Februari 2011 saat Maureen kontrol kesehatan rutin
tiap akhir bulan," kata Elizabeth.
Sementara, ibu korban, Linda, mengatakan,
belum tahu perkembangan kasus hukum dokter yang merawat
anaknya. Keluarga masih menunggu proses hukum berjalan. Linda
mengatakan, terakhir kali datang ke RS Awal Bros pada 28 Februari 2011 lalu.
Pihak RS menjanjikan akan melakukan operasi 3-6 bulan mendatang. "Tapi,
belum tahu untuk biaya operasi, apakah gratis atau membayar lagi. Padahal, kami
sudah keluar uang sampai puluhan juta rupiah," ucap Linda. Seperti
diberitakan, Maureen adalah korban dugaan tindak malapraktik di RS Awal Bros
pada November 2010. Akibat diberikan cairan keras, yakni bicnat di infusnya,
tangan Maureen membengkak, membiru, hingga bernanah. Dokter bedah plastik
sempat menyarankan jari Maureen diamputasi. Namun, saran itu akhirnya tidak
dilakukan hingga dokter bedah plastik menjalani operasi pertama untuk
mengangkat nanah di punggung telapak tangan Maureen. Setelah operasi itu, jari
di tangan kanan Maureen semakin mengerucut sampai akhirnya pada bulan Desember 2010 dua ruas
kelingking Maureen terputus.
3.2 Analisis Kasus
Masalah dugaan malpraktik
medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Dugaan kasus
malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek mauren yang mengalami putusnya
dua jari kelingking mauren. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas
penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu
akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya
mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat
mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi
disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana.
Indonesia berdasarkan
hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Masyarakat semakin sadar
terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap
kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang
Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya,
kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal
tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan
medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap
tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Ketidaktercantuman
istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di
Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut,
hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari
luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan.
Inovasi pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah
lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran
memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi
pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat
pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya
digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk
meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga
probabilitas terjadinya malpratek dapat diatasi seminimal mungkin. Dengan
dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga
medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
Salah satu upaya untuk
menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan)
untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini sangat perlu
tidak hanya ntuk melindungi dari kesewenangan tenaga kesehatan seperti doter
atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari
kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan
malpraktek. Kasus Mauren mauren memang harus dianalisi oleh pihak-pihak terkait
untuk menentukan dugaan-dugaan yang muncul dan penyelesaian yang diajukan untuk
mengatasi kasus ini.
3.3 Malpraktek Ditinjau
dari Segi Hukum
1. Sangsi hukum
Jika perbuatan malpraktik
yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan
ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy
yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang
bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun
kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa
seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter
sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi
setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati untuk
mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya
ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat
kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian,
mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi
SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi
pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya
nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan
kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat
diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’. (2) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
Pemberatan sanksi pidana
juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik,
sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan
yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka
pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat
berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang
dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga
mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian
yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang
berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian
atau kurang hati-hatinya.”
2. Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi
pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa bukan
hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan
dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan
bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat
dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum
sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya
supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga
negara untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dengan
azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan
kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa
pun.
Hubungan kausalitas
(sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan
malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter
telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
3.4 Malpraktek Ditinjau
dari Segi Etika
Ditinjau dari Sudut
Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI) Etika punya ari yang
berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah
itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang
motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz
Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus
hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan
perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi
professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti
kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah
yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi
secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2
dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus
sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga
menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan
untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode
etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya
pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap
kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris,
akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik.
Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti
melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu
seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana
yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan
tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat
dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh
undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang
memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam
hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter
yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana
maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam
menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum
dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan
adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka
diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum
profesinya.
3.5 Malpraktek Ditinjau
dari Sudut Pandang Agama
Ditinjau dari Sudut
Pandang Agama. Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang
menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Menurut pandangan
Islam. Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak
prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak
manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas
bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik
penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada
aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun
saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.
Dari sini dapat kita
katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau
kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka
setiap tindakan yang oada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang
bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan
demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.
BAB VI
PENUTUP
4.1Kesimpulan
Atas dasar beberapa uraian yang telah
disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan dengan
masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:
1. Kasus malapraktek
merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan
yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan
berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya
kasus malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya
berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di mass media karena kegagalannya
dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien,
menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga
perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan
atau sengketa.
2. Sedangkan altrnatif untuk
menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai,
sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang
pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang
jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat
dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malpraktek tersebut, sebab kasus ini
sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang
merasa dirugikannya.
4.2 Saran
1. Kiranya pihak aparat penegak
hukum, sebagai pencari penegakan hukum yang aktif di dalam masyarakat, kiranya
dapat berperan aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus
malapraktek ini.
2. Selanjutnya, sebagai
rangkaian dalam keaktifannya dalam mencari penegakan hukum, Kejaksaan sebagai
Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi KUHP, dapat
meningkatkan peranannya dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan pihak
penyidik (polisi) untuk dapat membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini
masih banyak yang ter-tutup, baru kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti
dan obyektif dalam mengambil vonisnya.
3. Perlu
juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini, khususnya
pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus malapraktek
mereka dapat menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan tepat sesuai dengan
kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengadakan
seminar-seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang menyangkut masalah
kebidanan, khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan
kejadian-kejadian yang timbul di sekitar malapraktek. Atau minimal mereka diberikan suatu
pegangan/pedoman tentang hokum untuk profesi bidan dan segala aspeknya. Dari
hal ini diharapkan agar nantinya setiap kasus malpraktek dapat benar-benar
diselesaikan dengan tuntas.
4. Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam
melaksanakan tugasnya, masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan
penegak hukum dapat lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat
berjalan sebagaimana kita harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum
Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek
Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
http://nonameface.wordpress.com/2010/02/06/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-no-36-th-2009/
http://www.kksp.or.id/?pilih=lihatdl&id=30
http://bataviase.co.id/node/590966
http://ikpreg1b.blogspot.com/2011/01/kasus-malpraktek-dalam
kesehatan.html
http://lahasmile.com/62468/kasus-maureen-harus-diproses-hukum.html
http://arsipberita.com/arsip/kasus-maureen-global-medika.html
http://www.indonesiaheadlines.com/index.php?id=1440285