Pages

Kamis, 18 Oktober 2018

MAKALAH HUKUM KESEHATAN SEMESTER 5 (JUDUL MALPRAKTEK)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah                                                                           
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran  yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam terkait alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada proses pelayanan kesehatan. Terkait kasus-kasus yang muncul mengenai malpraktek, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus malpraktek Mauren di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin maraknya kemunculan kasus-kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus malpraktek ini  harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu kelalayan dan propesionalitas tenaga kedokteran.

1.2   Rumusan Masalah                                                                                        
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya pencegahannya.

1.3   Tujuan Penulisan         
1.      Menjelaskan pengertian malpraktek
2.      Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran
3.      Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4.      Menjelaskan tentang tanggung jawab secara hukum
5.      Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan  hukum.

1.4  Manfaat Penulisan
1.      Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama yang berkaitan  
       dengan malpraktek tenaga medis.
2.      Memahami permasalahan yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis  serta upaya-  
       upaya untuk mencegahnya.
3.      Memahami tuntutan hukum terhadap malpraktek tenaga medis.

 BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Malpraktek

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

2.2 Malpraktek Dibidang Hukum                                                              
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1.  Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.    Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b.   Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
·      Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
a.       Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah. Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b.      Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c.       Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d.      Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
e.       Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi: Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

·       Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a.       Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b.      Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
·      Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a.       Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
b.      Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
c.       Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2.  Civil malpractice                                                                     
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.    Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.    Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3.     Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan     
Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a.       Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b.        Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
·      Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a.       Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b.      Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c.       Direct Causation (penyebab langsung)
d.      Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
·         Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.    Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b.   Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan

Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena:
a.       Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b.      Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c.       Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

2.4  Tanggung Jawab Hukum                                                                                 
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1.      Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2.      Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3.   Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

2.5 Upaya Pencegahan dan Menghadapi                                                               
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatanDengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.    Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.   Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.    Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.   Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.    Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.    Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a.    Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.   Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
c.    Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
d.   Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Ilustrasi Kasus
Pihak RS Awal Bros Beberkan Kasus Maureen Chairul
04 Mar 2011 (Tangerang, Kompas.com)
Dugaan kasus malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang, Banten terhadap bayi Maureen Angela berusia delapan bulan yang kini kehilangan jari kelingkingnya, masih perlu pembuktian. Tim Kementerian Kesehatan juga telah diturunkan untuk mengawasi penyelesaian kasus tersebut. Dalam jumpa pers yang digelar di lantai 5 RS Awal Bros Tangerang, Kamis {3/3) sekitar pukul 13.00 WIB, Dr Elizabeth yang menangani Maureen menjelaskan, Maureen datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada 16 November 2010 dengan alasan ndak sadar, kejang, nafas tersengal-sengal, denyut jantung sangat cepat, demam tinggi, kekurangan cairan berat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Menurutnya, tim dokter yang bertugas di IGD saat itu mengambil langkah-langkah medis untuk mengatasi ke gawat daruratan tersebut "Maureen diberi cairan bicnat yang disuntikkan jarum infus. Karena kandungan pH darahnya asam, maka diberi cairan bicnat sebelum dilakukan tindakan, kami telah meminta persetujuan keluarga dan telah disetujui, papar Elizabeth. Jarum infus yang terpasang di tangan Maureen dibalut dengan perban agar jarum tidak lepas. "Langkah yang sama juga dilakukan bagi pasien anak. Pemantauan dilakukan dengan baik terbukti aliran infus berjalan dengan baik," ungkapnya. Setelah itu, kondisi Maureen berangsur-angsur membaik dan nyawanya terselamatkan. "Dengan membaiknya kesehatan Maureen, maka kemungkinan tangan Maureen bergerak-gerak sehingga mengakibatkan cairan infus merembes ke tangan," paparnya.
Rembesan itu mengakibatkan kerusakan pada ujung jari kelingking kanan. Kerusakan jaringan tersebut merupakan suatu hal yang sangat tidak diharapkan terjadi. "Semua yang kami lakukan itu adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun sampai dari resiko memang dapat terjadi dalam suatu proses pengobatan terhadap siapa saja," kilahnya. Namun, sangat disayangkan Elizabeth dan pihak RS Awal Bros tidak memberi kesempatan kepada wartawan untuk bertanya lebih jauh. "Kami selaku manajemen rumah sakit akan senantiasa menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga pasien," katanya mengakhiri keterangan persnya. Secara terpisah, Direktur Bina Upaya Rujukan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan dr Chairul Rajab Nasution mengatakan, kasus dugaan malpraktik di RS Awal Bros itu perlu pembuktian secara obyektif. "Kita harus membuktikan secara obyektif, apakah ini kasus sebab akibat penyakit sebelumnya atau karena ada kelalaian yang dilakukan oleh tim medis," kata Chairul kepada wartawan di Kantor Kementerian Kesehatan, Kamis (3/3) sekitar pukul 15.00 WIB. Dia mengatakan, Kemenkes telah melakukan koordinasi terhadap kasus dugaan malpraktik yang menimpa anak Maureen Angela. "Jika ada yang salah, Kementerian Kesehatan pasti akan melakukan tindakan tegas sesuai dengan kesalahan yang terbukti," kata Chairul. Untuk pembuktian itu, harus melalui beberapa proses melalui Komite Medik Rumah Sakit untuk membuktikan secara diagnostik medik. Sedangkan Kementerian Kesehatan sebagai regulator akan melihat secara administratifnya.
RS, dokter Rumah Sakit Awal Bros, Kota Tangerang, belum menerima surat panggilan dari Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota terkait pelaporan sang dokter oleh orang tua Maureen (8 bulan). Dokter yang merawat Maureen itu dilaporkan Linda Kurniawati (33) dan Budi Kuncahya (39) ke Polda Metro Jaya, tapi dilimpahkan ke Polrestro Tangerang Kota. "Belum ada panggilan dari polisi untuk dokter RS. Kami menunggu proses hukum berjalan," kata juru bicara  Rumah Sakit Awal Bros, dokter Elizabeth, saat dihubungi wartawan, Rabu (9/3/2011). Dokter RS dilaporkan atas dugaan perawatan dari sang dokter yang menyebabkan dua ruas jari kelingking Maureen putus.  Pihak RS Awal Bros berupaya menjalin komunikasi dengan keluarga Maureen. Usaha tersebut sebagai iktikad baik RS yang dahulu bernama RS Global Medika untuk tidak mengabaikan penderitaan yang dialami Maureen. "Keluarga pasien terakhir kali kontak dengan kami pada tanggal 28 Februari 2011 saat Maureen kontrol kesehatan rutin tiap akhir bulan," kata Elizabeth.
Sementara, ibu korban, Linda, mengatakan, belum tahu perkembangan kasus hukum dokter yang merawat anaknya. Keluarga masih menunggu proses hukum berjalan. Linda mengatakan, terakhir kali datang ke RS Awal Bros pada 28 Februari 2011 lalu. Pihak RS menjanjikan akan melakukan operasi 3-6 bulan mendatang. "Tapi, belum tahu untuk biaya operasi, apakah gratis atau membayar lagi. Padahal, kami sudah keluar uang sampai puluhan juta rupiah," ucap Linda.  Seperti diberitakan, Maureen adalah korban dugaan tindak malapraktik di RS Awal Bros pada November 2010. Akibat diberikan cairan keras, yakni bicnat di infusnya, tangan Maureen membengkak, membiru, hingga bernanah. Dokter bedah plastik sempat menyarankan jari Maureen diamputasi. Namun, saran itu akhirnya tidak dilakukan hingga dokter bedah plastik menjalani operasi pertama untuk mengangkat nanah di punggung telapak tangan Maureen. Setelah operasi itu, jari di tangan kanan Maureen semakin mengerucut sampai akhirnya pada bulan Desember 2010 dua ruas kelingking Maureen terputus.

3.2 Analisis Kasus
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Dugaan kasus malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek mauren yang mengalami putusnya dua jari kelingking mauren. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana.
Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan. Inovasi pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat diatasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini sangat perlu tidak hanya ntuk melindungi dari kesewenangan tenaga kesehatan seperti doter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek. Kasus Mauren mauren memang harus dianalisi oleh pihak-pihak terkait untuk menentukan dugaan-dugaan yang muncul dan penyelesaian yang diajukan untuk mengatasi kasus ini.

3.3 Malpraktek Ditinjau dari Segi Hukum
1. Sangsi hukum
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

 2. Kepastian hukum
Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

3.4 Malpraktek Ditinjau dari Segi Etika
Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI) Etika punya ari yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.

Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.

Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.

3.5 Malpraktek Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Ditinjau dari Sudut Pandang Agama. Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Menurut pandangan Islam. Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.
Dari sini dapat kita katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang oada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.


BAB VI
PENUTUP

4.1Kesimpulan                                                                                                                      
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut:

1.   Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.

2.   Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malpraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.

4.2 Saran

1.   Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari penegakan hukum yang aktif di dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini.

2.   Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam mencari penegakan hukum, Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi KUHP, dapat meningkatkan peranannya dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan pihak penyidik (polisi) untuk dapat membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini masih banyak yang ter-tutup, baru kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif dalam mengambil vonisnya.
3.   Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini, khususnya pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus malapraktek mereka dapat menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan tepat sesuai dengan kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengadakan seminar-seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang menyangkut masalah kebidanan, khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan kejadian-kejadian yang timbul di sekitar malapraktek. Atau minimal mereka diberikan suatu pegangan/pedoman tentang hokum untuk profesi bidan dan segala aspeknya. Dari hal ini diharapkan agar nantinya setiap kasus malpraktek dapat benar-benar diselesaikan dengan tuntas.

4.   Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan tugasnya, masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak hukum dapat lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana kita harapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.

Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;

http://nonameface.wordpress.com/2010/02/06/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-no-36-th-2009/
http://www.kksp.or.id/?pilih=lihatdl&id=30
http://bataviase.co.id/node/590966
http://ikpreg1b.blogspot.com/2011/01/kasus-malpraktek-dalam kesehatan.html
http://lahasmile.com/62468/kasus-maureen-harus-diproses-hukum.html
http://arsipberita.com/arsip/kasus-maureen-global-medika.html
http://www.indonesiaheadlines.com/index.php?id=1440285