TUGAS
LEMBAGA
NEGARA
DOSEN
PENGAMPU ACHMAD FAUZI, SH, MSI
DISUSUN
OLEH :
NAMA :
RIKA MELANI
NPM : 161003742014181
KELAS : V3/SEMESTER 3
UNIVERSITAS
17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
V3/SEMESTER
III
2016/2017
HUKUM LEMBAGA NEGARA
1.
BADAN
PEMERIKSAAN KEUANGAN
a) DASAR HUKUM PEMBENTUKAN
BPK RI
PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
, BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
Pasal 23E
(1)
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2)
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya.
(3)
Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau
badan sesuai dengan undang-undang.
Pasal 23F
(1)
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh
Presiden.
(2)
Pimpinan Badan Perneriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G
(1)
Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan
undang-undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2006
Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara
b) SEJARAH BERDIRINYA BPK RI :
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk
memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan
itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan
Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang
pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang
berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan
hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan
dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua
instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam
memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih
menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan
tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW
dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948
tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke
Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap
mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945;
Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI
tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka
dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah
satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai
tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di
Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah
Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan
RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan
Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati
bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan
RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene
Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang
menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas
Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan
berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan
Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI
(UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD
Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW
dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan
Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi
MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk
menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol
yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963,
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.
7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
(PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17
Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar
Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas
penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI
berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan
BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi
Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru
direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan
telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan
Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal
di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002
yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai
satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu
lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang
mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen, BPK
RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5). Kemudian dalam Perubahan
Ketiga UUD 1945
dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E,
23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk
menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang
Keuangan Negara, yaitu;
- UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
- UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
- UU No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
c) PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN
KEANGGOTAAN BPK RI :
Struktur
Organisasi BPK
STRUKTUR
ORGANISASI BPK:
- Sekretariat Jenderal
- Inspektorat Utama
- Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi dan Pengembangan
- Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara
- Auditorat Utama Keuangan Negara I
- Auditorat Utama Keuangan Negara II
- Auditorat Utama Keuangan Negara III
- Auditorat Utama Keuangan Negara IV
- Auditorat Utama Keuangan Negara V
- Auditorat Utama Keuangan Negara VI
- Auditorat Utama Keuangan Negara VII
- Auditorat Utama Investigasi
TENTANG
BPK RI
- Dasar Hukum
- Sejarah
- Visi Misi
- Profil BPK
- Bidang Tugas Pimpinan BPK
- Struktur Organisasi
- Majelis Kehormatan Kode Etik
d) TUGAS DAN KEWENANGAN BPK RI
TUGAS DAN WEWENANG KETUA, WAKIL KETUA, DAN ANGGOTA BPK RI
No.
|
Pimpinan BPK
|
Tugas dan Wewenang
|
Objek Tugas dan Wewenang
|
1.
|
Ketua (merangkap Anggota)
|
Melaksanakan:
|
Pelaksana BPK dan para pemangku
kepentingan
|
2.
|
Wakil Ketua (merangkap Anggota)
|
Melaksanakan:
|
Pelaksana BPK dan para pemangku
kepentingan
|
3.
|
Anggota I
|
|
|
4.
|
Anggota II
|
|
|
5.
|
Anggota III
|
|
|
6.
|
Anggota IV
|
|
|
7.
|
Anggota V
|
|
Pemerintah
Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Badan Usaha Milik Daerah di Wilayah I, yang
terdiri atas:
|
8.
|
Anggota VI
|
|
Pemerintah
Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Badan Usaha Milik Daerah di Wilayah II, yang
terdiri atas:
|
9.
|
Anggota VII
|
|
|
e) TATA
CARA PENGISIAN JABATAN , MASA JABATAN , DAN JUMLAH ANGGOTA BPK RI :
TENTANG
TATA CARA PENGISIAN
CONTOH
PAKTA INTEGRITAS PELAMAR
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini ;
Nama
:
NIP
:
Pangkat/golongan
ruang :
Tempat,tgl
lahir :
Jabatan
saat ini :
Alamat
:
a.
Kantor :
b.
Rumah :
Dalam
rangka mengikuti Seleksi Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (SKPD yang
dilamar)*) di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sampang, dengan ini menyatakan
bahwa saya:
1.
Tidak akan melakukan komunikasi yang mengarah kepada korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN).
2.
Tidak akan melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3.
Akan melaporkan kepada pihak yang berwajib/berwenang apabila mengetahui ada
indikasi
korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN).
4.
Tidak memberi sesuatu yang berkaitan dengan Seleksi Pengisian Jabatan Pimpinan
Tinggi Pratama (SKPD yang dilamar)*) di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sampang
yang dapat dikategorikan sebagai suap dan/atau gratifikasi.
Apabila
saya melanggar hal-hal yang telah saya nyatakan dalam Pakta Integritas ini,
saya bersedia dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.Sampang, tgl / bulan / tahun
Yang
Menyatakan
(tanda tangan)
( nama lengkap )
*)
SKPD yang dilamar diisi misalnya : Dinas Pendidikan.
Masa
jabatan 6 Tahun dan Sesuai dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
BPK, jumlah Anggota BPK adalah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari seorang
Ketua merangkap Anggota, seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan 7 (tujuh)
orang Anggota. Dengan diresmikannya kelima orang Anggota BPK pada hari ini maka
keanggotaan BPK saat ini sejumlah 9 (sembilan) orang. Pelaksanaan tugas dan
wewenang kesembilan orang Anggota BPK tersebut akan ditentukan kemudian sesuai
Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pembagian Tugas dan Wewenang Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggota BPK.
f) HUBUNGAN
BPK RI DENGAN LEMBAGA LAIN :
Hubungan
DPD dengan DPR, BPK, dan MK
Tugas
dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU
tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan
pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga
perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah
dengan mengedepankan kepentingan daerah.
Dalam
hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil
pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.
Ketentuan
ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK
sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya,
dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK.
Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul
dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
Dalam
kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait dengan kewenangan MK
dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya.
2.
MAHKAMAH
KONSTITUSI RI
a. DASAR
HUKUM PEMBENTUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Terdapat di Ketentuan Pasal 24 ayat
(3) menjadi dasar
hukum keberadaan berbagai .... Pembentukan Mahkamah Konstitusi
b. SEJARAH BERDIRINYA MAHKAMAH
KONSTITUSI RI
Membicarakan
MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan
fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling
utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati
antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria,
gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada
sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Berdirinya
Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah
Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh
sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya
menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih
tinggi.[1] Sejarah modern judicial review, yang merupakan
ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh
Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803).
Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John
Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk
diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para
penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia
Harper)[2] memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai
kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus[3] dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan
mereka. tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan
John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum
sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas
surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak
berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat
yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat,
yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan
oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena
ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III
Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.[4] Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah
perkara ini diputus oleh John Marshall.
Keberanian
John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang
kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak
negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang
negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme
Court.
Hans
Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20
(1881-1973) juga pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi
University of Vienna, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik
Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama
dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai
seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa
dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga mengakui adanya
ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan
tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah
khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan
membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meski
Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi
berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari
tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan
di Austria.[5]
Setelah
perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review menyebar
keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari
Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda
dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional). Negara-negara
bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada
78 negara yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan
Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya.[6]
Momen
yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad
Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang
pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau
constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya
diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin
mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang.
Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar
yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan
(separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of
power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan
menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian
undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli
mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide
itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
Ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk
memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung
Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang
Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh
suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang
monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi,
bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan.[7]
Tetapi
setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang
menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Gagasan Yamin
muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah
Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI
(PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam
lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang,
memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain
yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan
putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah
melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan
masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai
pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945.
Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang
diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya
setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal
24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.
Undang-undang
Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengalami perubahan mendasar sejak Perubahan
Pertama pada tahun 1999 sampai Perubahan Keempat pada tahun 2002. Undang-undang
Dasar 1945 setelah Perubahan Keempat tahun 2002, saat ini boleh dikatakan
merupakan konstitusi baru sama sekali, dengan resmi disebut “Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Perubahan-perubahan
itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari tiga
kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi
71 butir ketentuan, maka setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi
muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan, menyisakan hanya 25
butir yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir
ketentuan dapat dikatakan merupakan materi atau ketentuan yang baru.[8]
Sri
Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan Undang- Undang
Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan
hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan.[9] Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan
UUD 1945 sejak Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus
mempengaruhi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Terjadinya perubahan
yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai
lembaga Negara.
Sehubungan
dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
setelah Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat
mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi mekanisme struktural organ-organ
Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara
berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka
UUD 1945 itu; pokok pikiran tersebut antaranya adalah :
a)
Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling
melengkapi secara komplementer;
b)
Pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances'
c)
Pemurnian sistem pemerintah presidential; dan
d)
Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.[10]
Berdasarkan
pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim
konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus
2003.[11]
Berdasarkan
Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan
bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga yudikatif
selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[12] Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan
lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,
Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek
waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus
merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
c. KEDUDUKAN DAN SUSUNAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Digantikannya
sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power
(pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format
kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang
dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR
berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat,
MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di
bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan
masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat
utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi
terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga
negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi
juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi
diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain,
kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada
lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara
berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam
konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan
fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu
lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan
lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai
lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan
mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga
negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang
tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan
mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya,
UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi.
Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan
“menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang
melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki
kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin
terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Berdasarkan Peraturan
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor 04 Tahun 2012 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretris Jenderal Mahkamah Konstitusi Sebagai
Berikut:
d. TUGAS DAN WEWENANG MAHKAMAH
KONSTITUSI RI
- Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewewenangan lembaga Negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
- Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
- Menguji undang-undang terhadap UUD 19451.
- Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
- Memutus pembubaran partai politik.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
e. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Mahkamah Konstitusi
RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1.Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.Memutuspembubaran partai politik, dan
3. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
4. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1.Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.Memutuspembubaran partai politik, dan
3. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
4. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar