“Cinta cinta sejati” tepatkah
seorang pelajar SMU memikirkannya, pantas mendapatkannya. Cinta sejati bukan
cinta monyet seperti yang orang-orang katakan.
4 juni 2013 adalah hari yang sangat
membahagiakan bagiku, aku berhasil lolos dalam Pasprov dan akan mendapat
kesempatan masuk Istana Negara. Mengibarkan Sang Merah Putih di Istana Negara
17 Agustus nanti. ini impianku, berkat kerja keras dan semangatku selama ini
aku dapat mewujudkan impian besarku, suatu kebanggaan dan kehormatan tersindiri
bagiku.
Mezaluna Putri Amelia, pacarku. Umurnya
setahun lebih tua dariku. Gadis baik, cantik, bisa mengertiku. Tanggal 15
september nanti, Luna berulang tahun ke Tujuh belas. Momen paling ditunggu
semua remaja. Aku akan memberikan kejutan besar untuknya.
Dua hari kunikamti Kota Jakarta, setelah
tugasku mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Istana Negara. Sendirian, hanya
aku satu-satunya perwakilan sekolahku. Aku pulang dan merayakannya dengan
teman-teman. Aku mengajaknya, tapi ia menolak, katanya lelah.
Aku
merayakan keberhasilanku hingga larut malam. Hampir pukul 23.00 WIB, kami baru
selesai. Sampai dirumah aku langsung menghubunginya. Ku telfon, sms, tak ada
balasan.
“Mungkin
sudah tidur.” Pikirku.
“I love
you Rendra, love you, love you.” Ponselku berbunyi, sms masuk.
Aku
baru saja keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil Hp-ku yang kuletakan
di tempat tidurku. Sengaja kupasang suara Luna untuk nada pesan dan telfon. Ia sendiri
yang merekam suaranya di ponselku. “Lucu” kataku.
Aku
membaca sms itu, bukan gaya bahasa Luna, pacarku. Hanya tertera nomor dan
kalimat manja. Aku tak membalas sms itu, aku langsung tidur.
Perjalanan
8 jam Jakarta-Purwodadi di lanjutkan makan dengan teman-temanku membuatku
sangat lelah.
Sekolah memberiku waktu 2 hari untuk
beristirahat dirumah. Tapi pagi itu aku sengaja datang ke sekolah. Sengaja
ingin menemui pacar dan teman-teman serta guru-guruku di sana.
Pukul
08.00 WIB aku bangun ada 9 sms semua dari nomor yang sama, ada telfon, dari
nomor itu lagi. Ku angkat, tak ada suara, kutunggu, tetap tidak ada jawaban.
“Dasar
iseng!” gumamku dalam hati.
Aku sampai disekolah pukul 10.00 WIB, pas
saat istirahat.
Aku
langsung menuju kelas, hampir 3 bulan aku tinggalkan sekolah dan teman-temanku,
kelas sepi. Langsung saja aku menuju ruang guru, sekedar berterima kasih pada
mereka.
Setelah
itu aku menuju taman sekolah tempat teman-temanku biasa nongkrong, karena
suasana taman sekolah sangat teduh, sejuk dan asri jadi tidak salah kalau taman
sekolah menjadi tempat favorit bagi kebanyakan siswa lainya termasuk
teman-temanku untuk menghabiskan waktu istirahat.
Benar,
mereka disana. Melihat kemunculanku di sekolah, mereka sedikit kaget
“Ngapain
kamu Ren di sini? Kan kamu masih di beri despensasi libur!” Kata seorang
temanku.
Aku
hanya tersenyum.
Bel masuk
berbunyi, kami membubarkan diri menuju ke kelas. Image remaja yang suka
membolos tidak berlaku bagi kami, disiplin untuk urusan sekolah.
Mereka
menuju kelas masing-masing, dan aku menuju kantin Bu Bar nama penjualnya Bu
Bariah.
Aku ke
kantin untuk besantai dan sekedar minum es sirup leci favoritku di kantin ini.
“Lama
ndak ke sini ya mas.” Sapa Bu Bar ramah.
“Iya
bu.” Jawabku tersenyum
“Biasa
Mas?” Tanyanya lagi.
Aku
menganguk.
Sepiring
nasi kuning dan telur dadar, juga es sirup leci diletakkan Bu Bar di depanku.
Aroma yang menggugah seleraku masih sama seperti dulu. Aku menghabiskan makanan dan minumanku, aku mengobrol sebentar
dengan Bu Bar dan Pak Jar adalah panggilanku kepada Pak Jarsono suami Bu Bar.
Ternyata
tidak sebentar, hampir 3 jam aku mengobrol dengan mereka, semua tentang
Jakarta.
Aku baru sadar, seharian ini aku tidak memberi
kabar apapun padanya. Aku pamitan dengan Bu Bar dan Pak Jar, aku berlari ke
kelas pacarku setengah jam lagi sekolah selesai. Aku menunggunya di atas motor
yang ku parkir de depan kelasnya. Setengah jam menunggu.
Bel pulang
sekolah berbunyi semua siswa berhamburan keluar kelas aku liat sosok perempuan
cantik ternyata itu pacarku.
“Hai...cantik..”
Sapaku.
Ia
menoleh lalu tersenyum.
“Pulang
yuk, aku anter deh.” Ajakku
“Aku
bawa motor.” Jawabnya singkat
“Yaudah,
aku pulang duluan.” Kataku dan meninggalkannya yang masih berdiri di depan
kelas.
Ada sms
lagi, dari nomor yang sama. Kali ini ia memberitahu namanya, Lina.
Aku
mengingat nama itu. Ternyata, si pembawa Bendera Merah Putih dari SMU Boscho,
Jakarta. Ia pernah meminta No telfon, Wechat ID, Line, dan E-mailku.
Anak
ini memang sedikit manja, aku tak tau apa sebabnya. Aku membalas smsnya kali
ini, dan kamipun melanjutkan hingga larut, lagi-lagi aku lupa tidak mengabari
pacarku hari ini.
Pacarku
selalu selalu mengertiku, ia membebaskanku berteman dengan siapapun. Akupun
sebaliknya.
Hubungan smsku dan Lina terus berlanjut,
ternyata dia menyenagkan. walau hanya bertemu beberapa kali, juga selama aku
latihan di Jakarta. Dia bisa membuatku mersa lain. Dia seperti sosok Luna,
pacarku. Aku menyukai Lina, Lina pun sebaliknya.
Semakin
lama hubunganku dan Lina semakin dekat, aku belum menceritaka hal ini pada
pacarku. Setelah mengenal Lina, tak hanya Luna yang ada di hidupku, aku sayang
pada Lina seperti aku menyanyangi Luna.
Hari itu, aku mulai latihan Paskup lagi,
disekolahan. Luna juga anggota Paskub, tapi masa jabatannya telah habis. Luna
harus fokus pada ujiannya nanti. Pacarku ternyata sore itu juga di sekolahan,
pacarku duduk di tepi lapangan basket dengan teman-temanya.
Aku
melihat ke arahnya lagi, tidak ada Luna sudah pergi.
“Mungkin
dia pulang.” Pikirku.
Aku
melanjutkan latihan lagi. Sekitar pukul 16.00 WIB. Kami selesai latihan.
Aku
meminta Hp-ku yang kutitipkan pada Andre, temanku. Aku jarang menitipkannya
pada pacarku. Tak ada sms dari Lina.
“Ren,
tadi HP-mu diminta Luna.” Andre belum selesai bicara, kulihat Inbox Hp-ku,
ternyata ada sms dari Lina yang sengaja dibalas pacarku.
Aku
menuju motorku yang ku parkirkan disudut halaman sekolah dan langsung ke rumah
pacarku.
Kata
Ibunya, Luna sudah tidur.” Tadi pulang dengan wajah sembab, dia kenapa Ren?”
tanya tante Dina- Ibu Luna, pacarku.
Aku
menggeleng pura-pura tidak tau.
“Yaudah
tante, Rendra pulang dulu. Salam buat Luna aja tante.” Aku berpamitan.
Aku
merasa sangat bersalah pada pacarku. Tak kusangka panggilanku dan Lina sudah
berubah menjadi “Sayang” dan aku telah
melanggar janjiku sendiri untuk setia namun aku sudah menduakan cinta Luna. Pacarku
pasti sangat sedih.
Paginya,
aku menjemput pacarku dirumahnya.
“Amel
sudah berangkat Ren.” Kata tante Dina begitu melihatku.
“Makasih
tante, Rendra berangakt dulu.” Kucium tangan tante Dina.
Di
sekolah,
“Kamu
kemana aja?” Tanyaku begitu melihatnya berjalan ke kantin.
Luna
hanya diam, seakan tak peduli keberadaanku.
“Sayang.”
Panggilku.
Ia
tetap tidak peduli.
Ku
pegang tanganya, dengan cepat ia melepas tanganku. Sekali lagi ku pegang
tangannya.
“Aku
nggak pa-pa.” Nada suaranya meninggi.
Lagi-lagi ia meninggalkanku. Aku terdiam,
berbalik arah, dan kembali ke kelas. Aku sadar akan semua kesalahanku wajar
saja kalau Luna marah padaku.
Aku memutuskan hubunganku dengan Lina dan
memilih pacar yang hampir 2 tahun menemaniku.
15 September, “Luna Sweet Seventeen, di
Cafe Pojok Jam 17.00 WIB, dilanjutkan pesta kembang api” Itu isi undangan yang
dipegang Andre.
Semarah
itukah hingga ia tak mengundangku di pesta Ulang Tahunnya.
15
September, hari ini, nanti sore.
“Aku
harus minta maaf!” Aku berjalan terburu-buru menghampiri pacarku, yang terlihat
sangat cantik. Aku mendekatinya, ia menjauh, berlari ke arah taman di belakang
Caffe.
Aku
meghentikanya, ku genggam tangannya, aku membalikan badanya. Luna, pipinya
basah oleh air mata. Ku tatap mata birunya.
“Aku
pernah janji untuk nggak akan buat kamu nangis, tapi aku gagal. Kamu boleh
marah sama aku, kamu boleh pukul aku untuk mengganti rasa sakit hatimu.” Luna
tidak menjawab.
Aku
ingin memeluk dan hapus air matanya, sepertinya tak pantas.
Kulihat
pacarku menarik nafas menarik nafas panjang dan lama.
“Aku
nggak berhak marah sama kamu, cinta datang dengan sendirinya. Aku cuma kecewa
sama kamu, kamu egois, kamu udah duain aku dan itu melanggar semua janji kita.”
Aku mendengarkan ucapan Luna.
Luna
mengacungkan kelingkingnya.
“Saling
jujur.” Katanya
“saling
percaya.” Sahutku, aku belum bisa menyentuh kelingkingnya.
“Kejujuran
dan kepercayaan adalah pondasi hubungan kita.” Katanya lagi.
“Pengertian
adalah tiangnya.” Aku yang berbicara.
“Dengan
itu semua kita bisa langgeng sampai saat ini.” Itu kata-kata yang seharusnya
kami ucap berdua, tapi nafasku tercekat, aku diam.
“Aku
kasih tau kamu Ren, aku juga pernah nazar untuk nggak mutusin kamu duluan
sebelum kamu...” Luna menarik nafas panjang sekali lagi.
“...Putusin
aku.” Lanjutnya.
“ jadi
plisss putusin aku! Ini terlalu sakit buatku.”
Nafasku
semakin tak beraturan, pacarku kembali menangis. Aku diam.
“Plisss
Ren, putusin aku!!” Luna memegang tanganku yang hendak menyeka air matanya.
“Aku
nggak bisa sayang, aku gak mau kita putus aku sayang kamu.” Kataku setelah
mati-matian mengatur nafas.
“Ini
pasti jauh lebih baik Ren.”
“Sayang,
kita putus!.” Kataku akhirnya, tak tahan melihat air matanya. Luna-pacarku,
barusan menjadi eks pacar, tersenyum damai. Aku memeluknya.
“Ren,
makasih. Sebentar lagi aku ujian, doa’in aku ya.”
Aku hanya mengagguk.
Luna
menatapku
“Jangan
pernah hubungin atau temui aku lagi.” Luna meninggalkanku masuk ke Caffe.
“Inikah
kado istimewaku di hari Ulang Tahunya?” Tanyaku dalam hati.
Dengan
langkah berat, aku menuju motorku dan pulang dengan perasaan yang tak karuan.
Aku
baru saja kehilangan orang yang aku sayangi selama ini yang selalu mengerti dan
menerimaku apa adanya..
Sejak saat itu, kami berpura-pura tidak
saling mengenal. Aku sadar, itu kesalahan terbesar, terfatal dalam hidupku. Aku
melanggar komitmenku sendiri.
Dan
kami benar-benar PUTUS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar